PERKEMBANGAN INDUSTRI SAWIT DAN PULP DI INDONESIA DARI MASA KE MASA



PERKEMBANGAN INDUSTRI SAWIT DAN PULP DI INDONESIA
DARI MASA KE MASA

     Awalnya hanya empat butir benih sawit. Pemerintah kolonial Belanda membawa benih-benih ini dari Afrika pada 1848. Saat itu Kebun Raya Bogor sedang sibuk mengumpulkan tanaman-tanaman dari seluruh wilayah Hindia-Belanda serta negara lain. Benih itu pun tumbuh subur dan menjadi sawit-sawit pertama di Asia Tenggara. Selain di Bogor, Belanda menanamnya sebagai hiasan pinggir jalan di Deli, Sumatera Utara. Bentuknya yang indah tapi teduh membuat sawit cukup cocok menjadi tanaman pinggir jalan.
     Pohon sawit dengan benih asli Afrika di Kebun Raya Bogor itu akhirnya mati juga. Pohon terakhir yang ditanam pada 1848 mati pada 1930-an, demikian banyak diungkap di cerita tentang industri sawit Asia Tenggara. Tapi, meski mati, keturunan tanaman ini sekarang membuat Indonesia menjadi penghasil sawit utama dunia. Dampak lainnya? Industri ini dan industri bubur kertas alias pulp dituding sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan tahunan di Sumatera dan Kalimantan.
     Industri sawit dan bubur kertas memang sangat besar di Indonesia. Orang Indonesia yang terlibat dalam industri ini mulai petani sampai buruh pabrik sangat banyak. Sawit yang diturunkan Belanda misalnya. Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia Asmar Arsyad mengatakan Indonesia saat ini memiliki 2,1 juta petani sawit. Para petani sawit ini tersebar di 21 provinsi. Sementara itu, luas kebun sawit nasional mencapai 11,3 juta hektare. “Yang dimiliki petani hanya 4,2 juta hektare,” ucapnya. Tak aneh, tahun lalu produksinya mencapai 31 juta ton, jauh di atas negara lain. Malaysia,
yang semula menguasai pasar sawit dunia, hanya memproduksi 19 juta ton.
     Dari produksi minyak sawit mentah sebanyak itu, dua pertiga diekspor. Nilai ekspornya tahun lalu mencapai US$ 21 miliar (sekitar Rp 286 triliun). Itu pun nilai ekspor dipandang masih bisa digenjot dengan memberi nilai tambah, diolah lebih lanjut menjadi bahan baku sabun dan semacamnya. “Saya kira industri sawit adalah industri yang masih punya kapasitas untuk ditingkatkan nilai tambahnya,” ucap Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. “Kalau lebih didorong ke arah hilir lagi, akan bisa menghasilkan re v e n u e  lebih banyak lagi,” ucapnya. Itu baru sawit, belum industri bubuk kertas.   
     Indonesia saat ini menghasilkan 7,9 juta ton bubur kertas per tahun. Ini masih terus ditambah. Dua tahun lagi diperkirakan naik 26,5 persen. “Totalnya menjadi sekitar 10 juta ton,” ucapnya. Angka itu didapat dari 13 pabrik bubuk kertas di Indonesia, tiga di antaranya pabrik gabungan bubur kertas sekaligus pabrik kertas. Sedangkan pabrik yang khusus membuat kertas menggunakan bubur kertas produksi perusahaan lain mencapai 67 buah. Produksi bubur kertas dan minyak sawit ini sangat dramatis melihat industri ini baru mulai tumbuh mulai 1970-an.
     Sawit misalnya. Tanaman asli Afrika ini semula iseng ditanam penjajah Belanda pada 1848 di Bogor, Jawa Barat, dan Deli, Sumatera Utara. Sawit ditanam sekadar sebagai tanaman penghias pinggir jalan. Perkebunan sawit baru dimulai pada 1911
saat investor Belgia, Adrien Hallet, membukanya di kawasan timur Sumatera. Perkebunan itu tidak besar, hanya 5.000 hektare lebih sedikit. Setelah harga sawit melejit, pemerintah mulai menggalakkan tanaman ini. Sistem plasma inti diperkenalkan agar petani kecil, bukan cuma pengusaha besar, bisa ikut dalam tanaman ini. Perlahan produksi melejit dan, sejak 2006,
     Indonesia menjadi produsen sawit terbesar dunia, menggeser Malaysia. Hal yang mirip terjadi pada industri bubur kertas. Bubur kertas baru dimulai sekitar tiga dekade silam, sedangkan industri kertas di Indonesia dirintis sejak zaman Belanda. Saat itu, pada 1923, investor Belanda membangun pabrik kertas di Padalarang, pinggiran Ban- dung. Pabrik kertas kedua berdiri pada 1939 di Probolinggo, Jawa Timur. Dua pabrik itu tidak bertambah sampai awal 1970. Dengan semangat membangun untuk mengganti produk impor, Indonesia membuat paket perangsang agar industri kertas berjalan. Impor kertas diberi bea masuk mahal. Hasilnya, pada 1975 ada 22 pabrik bubur kertas dan kertas jadi di seluruh Indonesia.
      Meski banyak pabrik kertas, bahan bakunya masih mengimpor dari sejumlah negara, mulai Amerika Serikat, Kanada, Finlandia, hingga Swedia. Impor ini tumbuh sangat cepat karena industri kertas tumbuh kencang. Herb Thompson dan Deborah Kennedy dari Murdoch University melaporkan, pada 1976, impor baru 32 ribu ton. Tapi, hanya berselang dua tahun, angka itu naik menjadi 130 ribu ton. Karena industri kertas tampak menjanjikan, konglomerat pun ramai-ramai masuk industri ini.
     Pada 1980-an, industri ini tumbuh sangat cepat, produksi naik sekitar 24 persen per tahun. Sementara semula industri ini hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, perlahan pasar ekspor mulai dimasuki. Pada 1987, Indonesia sudah lebih banyak mengekspor daripada mengimpor kertas. Industri ini seperti sawit kemudian ba- nyak menggunakan lahan bekas hutan. Industri pulp mengembangkan pohon akasia, yang cepat besar, sebagai bahan baku. Tanaman akasia dan sawit inilah yang sekarang banyak dituding sebagai biang kebakaran hutan.

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment