TREND
BISNIS BATU CINCIN
AKIK
Dua kardus
rokok ukuran paling besar baru saja selesai dilakban oleh dua karyawan salah
satu toko di Jakarta Gems Center, Rawa Bening, Jatine- gara, Jakarta Timur.
Satu kardus akan dikirim ke Pontianak, Kalimantan Barat, satunya lagi ke
Makassar, Sulawesi Selatan. Meski toko tersebut berada di pusat perda- gangan
batu akik di Jakarta, isi kardus itu bukanlah mineral padat indah yang sedang n
g e t re n itu. Isinya adalah
“aksesori” alias perlengkapan pendukung batu akik. “Ada senter khusus meli- hat
batu, ampelas, gerinda, serbuk pelicin batu, serta boks untuk menyimpan dan
memajang cincin,” kata salah satu karyawan. “Cincin peng- ikat batu juga ada.”
Tren batu akik yang melanda Indonesia dalam beberapa tahun ini memang tak Cuma memancing
rezeki para pedagang batu mulia. Bisnis peralatan pendukungnya, mulai tempat
memajang cincin sampai gerinda untuk menggosok, ikut kondang.
Bisnis mesin diesel,
untuk memotong sampai menghaluskan batu, juga ikut terangkat. Syaiful Bahri
sudah bertahun-tahun membuat mesin diesel sederhana untuk memarut kelapa sam-
pai menggiling daging dengan nama bengkel Boy Diesel, tak jauh dari pusat batu
akik itu. Tapi sejak b o o m i n g akik dua tahun ini, ia banyak mendapat pesanan
mesin pemotong dan penggosok batu. Biasanya Syaiful hanya mampu menjual dua
mesin per hari. Tapi, saat b o o m i n g akik, ia bisa menjual 6-7 mesin per hari.
“Kemarin saja orang Pontianak sekali pesan empat unit mesin,” ucapnya.
Keuntungan yang didapat Syaiful lumayan. Modal membuat sebuah mesin, termasuk
bahan dan biaya kerja, hanya Rp 2-3 juta. Tapi ia bisa menjualnya dengan harga
Rp 4-6 juta.
Mesin ini seperti barang pendukung akik lain dikirim
ke seluruh Indonesia via perusahaan paket. “Kalimantan, Nusa Tenggara Timur,
dan Sulawesi paling banyak pesan dari toko saya,” ucapnya. Bukan cuma mesin,
para pemilik lahan di sekitar pusat penjualan batu mulia Jakarta juga ikut
memanfaatkan situasi. Mereka membuka semacam pusat perdagangan serta menyewakan
lapak-lapak bagi pedagang batu akik dan perlengkapannya.
Yang terbaru dan akan
buka beberapa pekan mendatang adalah Pahala Gemstone, yang menelan lahan sekitar
400 meter persegi. Juru bicara Pahala Gemstone, Parlindungan Pasaribu,
mengatakan bursa ini akan mulai dibuka menjelang Lebaran dengan menyediakan
sekitar 100 lapak pedagang akik dan barang terkaitnya. Karena sudah ada lahan
seluas 400 meter persegi, pemiliknya hanya mengeluarkan biaya konstruksi
sekitar Rp 600 juta. “Untuk meja- meja lapak, listrik, dan pernak-pernik,
seperti perizinan, kami habis sekitar Rp 200 juta,” ucap- nya. Namun, bursa
belum juga dibuka, dari 100 lapak yang dijual, kata Parlindungan, lapak yang
tersisa saat ini tinggal 12 unit. Padahal sewa lapaknya, menurut dia, tak
tanggung-tanggung. “Satu lapak sewanya Rp 23 juta setahun,” ucap- nya. Jadi,
jika semua lapak terisi semua, pendapatan bosnya, kata Parlindungan, mencapai
Rp 2,3 miliar dalam setahun. “Sekali launching , pemilik sudah balik
modal,” ujarnya.
Di sebelah Pahala
Gemstone, ada pusat penjualan batu akik lain. Petugas keamanan di sana
mengungkapkan, para pemilik lapak menyewa Rp 50 ribu per hari. Sebelum b o o
m in g batu akik, menurut petugas
keamanan ini, gedung tersebut akan dikontrakkan kepada Ramayana Department
Store. “Tapi kerja samanya belum jelas, jadilah pasar batu akik dulu,” ucapnya.
Salah satu pedagang, Nia Widiarti, menyewa di tempat yang sudah mapan terlebih
dulu, Jakarta Gems Center. Awalnya ia bekerja disebuah toko di Asemka, Jakarta
Barat. Ia punya ide menjual akik secara online .
Modalnya adalah kamera. Jadi ia memotret batu
akik, lalu mengunggahnya ke media sosial. Jika ada orang pesan via Internet,
baru ia membeli dari toko di sana. Dengan modal pinjaman Rp 9 juta dari bekas
majikan di Asemka, ia bersama suami mencoba menjual batu akik sejak satu
setengah tahun lalu. Usaha ditambah dengan perlengkapan lain, seperti cincin
berbahan titanium, rodium, atau germanium buatan Tiongkok, yang ia beli dari importir besar. “Saya
pun memberanikan diri kontrak toko, kemudian membelinya setahun yang lalu,”
ucapnya. Karena bisnisnya tambah moncer, ia dan su- aminya menambah toko di
lantai atasnya sejak setengah tahun ini.
Total ia memperkirakan
aset dagangannya di dua toko miliknya lebih dari Rp 6 miliar. Omzet per bulan
sekitar Rp 2 miliar. “Toko saya yang di bawah ditawar orang Rp 2 miliar tidak
saya lepas. Soalnya, bisnis ini masih tampak sangat menjanjikan,” ucapnya.
Meski demikian, persaingan semakin ketat karena banyak yang tergiur. Satu
setengah ta- hun lalu, kata Nia, importir cincin pengikat batu akik dan
aksesori metal lainnya terbilang bisa dihitung dengan jari. “Sekarang importir
sudah puluhan, pedagang grosir dan pengecer juga semakin banyak. Makanya
pendapatan penjualannya menurun,” ucapnya. “Permintaan tetap tinggi, tapi
pedagang makin banyak, makanya harga menurun, pendapatan juga menurun.” Hal ini
juga diungkap oleh salah satu peda- gang aksesori dan perlengkapan akik, Zulmahdie,
yang memiliki toko Dalimo Accessories di pusat perdagangan batu akik Jatinegara
itu.
“Permintaan cincin
pengikat semakin merosot dari hari ke hari, apalagi aksesori, sudah lama
menurun,” ucapnya. Zul, yang memiliki toko grosir aksesori, seperti gelang,
kalung metal, dan emas imitasi, di Pasar Asemka sejak 2003, mengakui baru enam
bulan menjadi grosir cincin batu akik di Jatinegara. “Sebelum b o o m in g batu akik, saya jual aksesori,” tuturnya. Saat
membuka lapak grosir di pusat pasar batu akik Rawa Bening, Jatinegara, awal
tahun ini, tokonya mampu membukukan penjualan 20 ribu buah cincin jenis metal
titanium per bulan, dengan harga di bawah Rp 20 ribu per cincin. “Sekarang laku
10 ribu buah saja sudah bagus,” ucapnya.


0 komentar:
Post a Comment