AWAL KERUNTUHAN DINASTI POLITIK RATU ATUT



KERUNTUHAN DINASTI CHASAN DI BANTEN

      Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, telah lahir sebuah terminologi baru dalam diskursus politik lokal di Indonesia: dinasti politik. Terminologi ini digunakan oleh banyak kalangan, khususnya akademisi dan pemerhati politik lokal, untuk melabeli mulai tumbuh dan berkembangnya pertalian keluarga pada jabatan-jabatan strategis di struk- tur pemerintahan formal pemerintah daerah, teru- tama pada lembaga eksekutif dan legislatif. Sebenarnya pertalian keluarga di antara para penyelenggara pemerintah tidak sepenuhnya diharamkan karena itu merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara. Namun prosesnya harus berlangsung secara fair dan didasari kapasitas atau kompetensi yang dimiliki. Persoalannya akan berbeda jika proses seleksi dan promosi tersebut lebih didasari “rekayasa politik” dan lebih mengandalkan praktek “transaksionis” untuk membeli legitimasi politik. Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak. Fondasi legitimasi “dinasti kekuasaan”    
1.   Soliditas keluarga dan Sumber ekonomi masih sangat kuat untuk menopang “dinasti politik” ratu atut. tapi kekuatan menjaga SoliditaS ekSternal melapuk. dibangun berdasarkan “politik transaksionis” umumnya sangat rapuh. Daya tahan yang dimiliki sangat bergantung pada, antara lain: a) kesinambungan ikatan keluarga dalam struktur kekuasaan,
2.   akses terhadap sumber daya ekonomi dan akumulasi kapital (uang) yang dimiliki, dan
3.   kemampuan memelihara soliditas jaringan informal dengan kekuatan-kekuatan “extra-state” (di luar struktur pemerintahan formal) yang telah difungsikan sebagai mesin mobilisasi massa untuk mendapatkan kekuasaan, sekaligus sebagai “perisai pelindung” kekuasaan yang telah dicapai. Bila tiga faktor ini terganggu, atau tidak dapat dikelola secara baik, keberadaan “dinasti kekuasaan” yang telah dibangun dapat dipastikan akan terancam.
Dinasti Politik di Banten
Diskursus publik tentang dinasti politik yang kerap menjadi rujukan adalah di Provinsi Banten karena berlangsung masif. Di sana, sejumlah anggota keluarga dekat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, seperti suami, anak, menantu, adik kandung, adik tiri, ibu tiri, dan adik ipar, menempati sejumlah jabatan strategis (lihat infografis).
      Proses pembentukan “dinasti politik” tersebut dirancang sejak tahun 2000 ketika Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Aktor utama yang merancang, mengawal, dan menghantarkan terbentuknya “dinasti politik” itu diperankan oleh tokoh “supra-kekuasaan”, yang tidak hanya memiliki akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi, tapi juga dikenal sebagai salah seorang tokoh “jawara Banten” terkemuka. Dia adalah Tubagus Chasan Sochib (almarhum), ayah kandung Ratu Atut, yang meninggal pada Juni 2011.   
      Begitu Banten terpisah dari Jawa Barat, salah satu agenda besar yang harus dihadapi provinsi ini adalah pemilihan pasangan gubernur-wakil gubernur yang pertama. Sebagai tokoh jawara- politikus dan jawara-pengusaha, Chasan Sochib, yang pada periode perjuangan pembentukan Provinsi Banten lebih banyak berperan di belakang layar, lalu muncul sebagai kekuatan dominan. Ia dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan politik yang ada, dan dapat mengontrol hampir seluruh tahap proses pemilihan pasangan gubernur- wakil gubernur yang telah ditetapkan.
     Singkat cerita, dari 69 anggota dewan perwakilan rakyat daerah, 37 suara di antaranya memilih pasangan Djoko Munandar-Atut Chosiyah, dan dua pasangan lainnya pun tersingkir. Ilustrasi di atas sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama, tapi memberikan gambaran singkat tentang peran sentral Chasan Sochib. Peran yang sama, atau bahkan lebih besar, juga dimainkan Tubagus Chasan pada putaran- putaran berikutnya, tatkala Atut berkontestasi memperebutkan posisi gubernur, dan ketika anggota keluarga lainnya memperebutkan posisi- posisi strategis di pemerintahan. Akumulasi sumber daya ekonomi dan politik yang dimiliki, plus jaringan yang solid dengan para “jawara Banten”, telah dimaksimalkan untuk menopang terwujudnya bestek “dinasti politik” yang dirancang.

Runtuhnya Dinasti Politik?
      Pertanyaannya kemudian, apakah ditangkapnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik Atut) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan dicegahnya Atut bepergian ke luar negeri dapat dimaknai sebagai pertanda runtuhnya “dinasti politik” di Banten? Saya kira masih terlalu dini untuk menyimpulkan demikian. Sebab, pasang dan surutnya “dinasti politik” dipengaruhi oleh sedikitnya tiga faktor utama seperti telah dipaparkan. Dua faktor yang disebut pertama dapat dipastikan masih sangat kuat untuk menopang konstruksi “dinasti politik” yang telah dibangun. Namun faktor ketiga mungkin mulai terganggu atau mengalami pelapukan. Setelah Chasan Sochib berpulang, tidak ada tokoh pengganti dari kalangan keluarga yang memiliki kapasitas dan reputasi setara dengan beliau.
     Tubagus Chaeri Wardana, yang seyogianya dapat berperan sebagai penerus dalam dunia “kajawaraan”, sejak awal lebih tertarik pada dunia bisnis. Kalaupun relasi dengan para “jawara Banten” masih tetap dijaga dan dikelola, hal itu lebih didasarkan pada hubungan material, minus hubungan emosional. Akhirnya, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan dari tiga faktor tersebut, terbongkarnya kasus suap pilkada Lebak oleh KPK—yang selanjutnya melibatkan Atut dan Wawan mungkin akan lebih tepat bila dimaknai sebagai indikasi dari “goyahnya dinasti politik” di Provinsi Banten. Atau dengan kata lain, belum sampai pada titik
“runtuhnya dinasti politik”.  
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment