DILEMA IZIN DAN KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN



Renegosiasi Tambang Penuh ganjalan

Perundingan ulang Pasal kontrak karya Perusahaan tambang belum jelas kaPan selesainya. isi kontrak tak bisa diubah se Pihak. dari Pasal soal royalti samPai smelter menjadi ganjalan.
      JARUM jam di lobi kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Ke- menterian Energi Sumber Daya Mine- ral sudah menunjukkan pukul 2 siang pada Senin, 10 Maret lalu. Suasana sepi, tidak tampak hiruk-pikuk. Padahal, beberapa hari se- belumnya, diumumkan bahwa 83 perusahaan pemegang kontrak karya pertambangan akan menandatangani komitmen renegosiasi. Sejumlah wartawan tidak mendapat penjelasan pasti mengapa acara batal. Belakangan, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara R. Sukhyar mengatakan, meski yang ditandatangani hanya komitmen bernegosiasi, acara itu batal karena beberapa perusahaan belum sepakat dengan beberapa pasal yang bakal dibahas. “Ada juga sebagian pemegang kontrak karya yang belum setuju dan itu yang perlu kita lihat lagi,” ujar Sukhyar. Kegagalan penandatanganan ini menjadi salah satu gambaran betapa berteletelenya perundingan ulang kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dengan perusahaan tambang meski bisa dibilang sudah lima tahun diusahakan.    
    Persoalan renegosiasi muncul setelah Undang-Undang Mineral dan Batu Bara mulai berlaku lima tahun lalu. Undang-undang ini menyatakan perusahaan tambang tetap bisa bekerja sampai masa kontraknya habis. Namun dalam undang-undang juga disebutkan pasal- pasal pada kontrak karya mesti disesuaikan paling lambat 2010. Meski undang-undang memberi batas waktu 2010, atau setahun setelah undang-undang diberlakukan, sampai sekarang persoalan ini belum juga beres. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun baru membentuk tim renegosiasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada 2012. Sampai sekarang, baru enam pemegang kontrak karya tambang mineral dan 19 pemegang perjanjian karya batu bara—semacam kontrak karya tapi untuk batu bara—yang sudah menandatangani renegosiasi. Sebagian besar, total 83 perusahaan, masih melakukan negosiasi. Mereka inilah yang mestinya menandatangani komitmen untuk bernegosiasi pada Senin itu.    
    Perundingan dengan para pemegang kontrak karya alot karena, menurut Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, kontrak karya berbeda dengan izin. Jika sekadar izin, pemerintah bisa memberi atau mencabutnya. Kontrak karya berbeda karena, untuk diubah apalagi dibatalkan mesti disepakati kedua belah pihak. “Nah, itu yang menyebabkan renegosiasinya sangat alot,” ucapnya.
    Perusahaan tambang tidak dengan begitu saja membiarkan kontrak di tangan mereka diubah. Tidak kurang Duta Besar Amerika Serikat negara asal Freeport pernah memprotes renegosiasi. Ia mengatakan kontrak karya mestinya tidak diutak-atik karena bisa merusak iklim investasi. Masuk akal juga, karena perusahaan ingin ada kepastian hukum. “Sebagai perusahaan, Vale tentunya ingin kepastian berusaha,” kata Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk, Nico Kanter, lewat email. Tidak mengherankan, perundingan bertahun-tahun ini belum juga beres. Menurut Sukhyar, perundingan sekarang menyisakan satu masalah yang paling mengganjal, kenaikan royalti dari 1 persen menjadi 3,75 persen. “Tinggal soal penerimaan negara, paling berat itu,” ujarnya. Sukhyar enggan membeberkan perusahaan yang masih berkeberatan soal royalti. Ia hanya menyebut PT Freeport Indonesia sudah mengirim surat persetujuan kenaikan royalti.
    Sedangkan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Vale Indonesia (nama baru Inco) belum sepakat mengubah pasal royalti dalam kontrak. Sukhyar optimistis dengan kontrak karya. “Dugaan saya, enggak ada cara lain, kalau Freeport setuju, Newmont dan lainnya juga akan setuju,” kata- nya. Pihak Freeport tidak bersedia menjelaskan perincian pasal-pasal yang masih mengganjal dalam perundingan ini. Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Daisy Primayanti, hanya mengatakan mereka tengah berdiskusi dengan pemerintah. “Bersama pemerintah, kami meninjau kontrak kami dengan mempertimbangkan kebutuhan investasi jangka panjang dan aspirasi nasional,” ucapnya. Sukhyar menyebut lima masalah lain di antaranya luas wilayah kerja, kewajiban melepas sebagian saham, dan kewajiban mengolah hasil tambang di dalam negeri bisa dibilang sudah tidak terlalu banyak masalah.
    Tapi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Syaril A.B. masih mengeluhkan dibatasinya penguasaan lahan maksimal 25 ribu hektare untuk tambang mineral dan 15 ribu hektare untuk tambang batubara. “Anggota kami bilang kami sudah investasi begitu banyak, tapi hanya dapat 25 hektare,” katanya. Ia mencontohkan Freeport, yang sudah menanam US$ 7 miliar (sekitar Rp 80 triliun). Dengan investasi seperti itu, menurut Syaril, Freeport pastinya enggan jika hanya akan mendapatkan lahan 25 ribu hektare. Ia mengatakan perusahaan tambang berusaha mendapatkan lahan lebih luas dengan mengajukan rencana kegiatan sejak 2010. “Tapi tetap saja tak mendapat persetujuan dari pemerintah,” ucapnya.
    Persoalan lain adalah keharusan membuat smelter untuk mengolah produksi. Dua penambang emas terbesar, Freeport dan Newmont, masih berkeberatan. “Kedua perusahaan itu memang belum oke dengan kewajiban mendirikan  smelter,” kata salah satu sumber di peme- rintahan. Tarik-ulur soal smelter mulai mendi- ngin setelah pemerintah memberi batas waktu 2017 untuk mendirikan tempat peleburan ini. Meski begitu, Sukhyar optimistis proses re- negosiasi akan segera selesai. “Renegosiasi ini akan rampung tahun ini juga sebelum peme- rintahan ini berakhir,” janji Sukhyar.

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment