JAWARA, UANG, & SANG RATU
ADALAH
TUBAGUS CHASAN SOCHIB YANG MENGARSITEKI KARIER POLITIK RATU ATUT. MODALNYA
GERTAKAN JAWARA DAN UANG.
Suasana mencekam
melingkupi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten. Pagi baru saja
dimulai, jam masih menunjukkan pukul enam. Namun ratusan orang berpakaian
hitam-hitam telah berkumpul di gedung yang berdiri di Jalan Raya Syekh Nawawi
Bersaudara tersebut. Pagi 3 Desember 2001 itu merupakan awal mula keluarga Ratu
Atut menancapkan kuku kekuasaan di Banten. Saat itu DPRD Banten melaksanakan
pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Banten periode 2001- 2006.
Ada tiga
pasangan yang berlaga hari itu untuk dipilih DPRD Banten. Saat itu belum ada
aturan tentang pilkada, sehingga gubernur dan wakilnya dipilih Dewan. Setelah
disaring melalui tiga tahapan, pasangan yang terpilih adalah Djoko
Munandar-Ratu Atut, yang didukung Fraksi Golkar dan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan; Ace Suhaedi-Tb. Mamas, yang didu- kung Fraksi PDI Perjuangan; serta
Herman Haeruman-Ade Sudirman, yang diajukan Fraksi Albantani. Anehnya, tidak
ada satu pun nama pendiri Provinsi Banten yang terdaftar sebagai kandidat.
Padahal ini adalah pemilihan gubernur pertama setelah Banten disetujui menjadi
provinsi tersendiri, memisahkan diri dari Jawa Barat.
Banten ditetapkan
menjadi provinsi pada 4 Oktober 2000. Tidak lama dari penetapan itu, para tokoh
pendiri Banten berkumpul di rumah Triana Sjamun. Hadir Aly Yahya, Uwes Qorny,
Profesor H.M.A. Tihami, dan Tubagus Chasan Sochib, ayah Ratu Atut. Mereka
membahas masa depan Banten setelah wilayah itu menjadi provinsi. “Ini Banten
sudah jadi provinsi, lantas siapa yang mau jadi gubernurnya?” tanya Chasan
malam itu seperti ditirukan Profesor Tihami, mantan Rektor IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin, Banten. Namun, dari pendiri Banten yang datang malam itu, tidak ada
yang menjawab. Saat itu, kata Tihami, para pendiri Banten memang tidak punya
ambisi menjadi gubernur.
Chasan rupanya
menggunakan pertemuan malam itu untuk melakukan lobi guna mengajukan Atut
sebagai penguasa Banten. Karena Atut masih nol pengalaman pemerintahan, Chasan
tidak memasang putrinya itu di nomor satu, tapi di nomor dua. Uu Mangkusasmita,
yang mengenal Chasan sejak 1970, menceritakan, malam itu Chasan lantas
mengajukan nama Atut. “Yang mau nyalon orang nomor satu boleh siapa saja,
asalkan nomor dua Atut. Saya bantu segala-galanya,” kata Chasan, yang saat itu
menjabat Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI).
Awalnya Atut, yang saat itu namanya dikenal sebagai pebisnis,
tidak ingin berkarier di jalur politik. Tapi Chasan berhasil meyakinkan putrinya
tersebut. Menurut Atut, sang ayah menasihatinya agar tidak hanya menjadi
penonton dalam perkembangan Banten, yang telah menjadi provinsi. “Ibu merasa
mampu meski harus banyak belajar di awal-awal,"
Pencalonan Atut sempat menemui jalan berliku
karena ditolak Aliansi Martabat Perempuan Banten. Pada 4 Oktober 2001, lembaga
swadaya masyarakat ini mengirim surat ke DPRD menolak Atut. Aliansi menilai
Atut tidak mewakili representasi perempuan Banten yang bermoral baik karena
santer diisukan berselingkuh. Namun sikap LSM perempuan itu langsung dibalas
oleh para jawara. Pada 5 Oktober, Perguruan Paku Jung Kulon (Perguruan Persilatan)
Banten Selatan merespons dengan menyatakan mendukung Atut. “Beliau satu-satunya
srikandi Banten yang ingin mengangkat peranan wanita dari aspek pembangunan.”
Lantas, pada 18
Oktober 2001 atau hanya dua hari setelah pembukaan pendaftaran bakal calon,
sebagai Ketua Persatuan Pendekar Silat Banten, Chasan mengirim surat kepada
panitia pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Isinya: Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia mendukung pencalonan Atut sebagai
wakil gubernur periode 2001-2006. Dukungan ini seolah menjadi peringatan bahwa
pihak-pihak yang menolak Atut akan berurusan dengan para jawara. Saat itu para
jawara terlibat dalam mobilisasi massa untuk mengawal dan mengamankan proses
pemilihan. “Bahkan, pada kasus tertentu, para jawara juga melakukan intimi-
dasi terhadap calon dan pendukung pasangan calon tertentu,” kata peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dalam buku Politik Lokal di
Indonesia.
Chasan sebagai pendiri dan Ketua PPPSBBI
memang mempunyai pengaruh sangat besar di kalangan para pendekar. Para jawara
sangat patuh kepada ayah Atut itu karena menghormatinya sebagai pendiri dan
sesepuh. Mayor Jenderal (Purna- wirawan) H. Ampi N. Tanudjiwa, sahabat Chasan
yang juga ikut mendirikan PPPSBBI, menceritakan, moto jawara Banten adalah bela
bangsa, bela negara, tapi setia kepada pendirinya. “Haji Chasan ini kan pendiri
pendekar. Mereka taat sampai mati sama pendirinya, juga sama anak-anak- nya.
Mereka tidak usah disuruh saja siap mati,” kata Ampi.
Awalnya nama Aly
Yahya muncul dalam penyaringan tahap pertama kandidat Gubernur Banten. Aly sebagai
anggota DPR merupakan konseptor dan pengusul RUU Inisiatif Pembentukan Provinsi
Banten. Ia muncul sebagai calon gubernur dari Golkar. Tapi Partai Beringin
rupanya bermain di dua kaki. Selain menyokong Aly, Golkar mendukung Atut
sebagai wakil gubernur. Uniknya, mereka tidak dipasangkan dalam satu paket.
Lewat serangkaian trik, nama Aly tersingkir, dan Golkar akhirnya mendukung
penuh pencalonan Atut sebagai wakil gubernur. Profesor Tihami mengungkapkan,
uanglah yang menjadi kuncinya. “Siapa yang mau dipegang, minta berapa, yang mau
dibayar 50 (orang) itu. Rp 150 juta kali 50 orang, sudah begitu saja. Tinggal
dibeli sama dia. Beres perkara. Muncul Atut,”
Tihami mengisahkan.
Uu Mangkusasmita juga mengungkapkan, Atut lihai main uang. Meski memimpin para
jawara, Chasan, yang memiliki koleksi puluhan baju hitam, sebenarnya bukan
pendekar yang sakti. “Ia memimpin dengan uang,” kata Uu, yang masih memiliki
hubungan kerabat dengan Chasan. Sayang, Aly Yahya hingga kini belum bisa dimintai
konfirmasi. Telepon selulernya tidak dapat dihubungi.
Pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur Banten juga diwarnai polemik. Pro-kontra terus
bergulir, terlebih terjadi penyimpangan tata tertib dan administrasi. Misalnya
Tb. Mamas Chaerudin diduga tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas/sederajat,
yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 151 Tahun 2000. Pemilihan sebenarnya sempat akan ditunda hingga akhirnya
Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menetapkan 3 Desember 2001 sebagai hari
pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Maka hari itu digelar pemilihan secara
tertutup. Mengantisipasi terjadinya bentrokan, apalagi pro- kontra terus
bergulir, DPRD meminta Polri dan TNI mensterilkan gedung Dewan dari para jawara
hingga radius 4 kilometer.
Namun,
kenyataannya, sejak pukul 06.00 WIB, para jawara berpakaian hitam-hitam memenuhi
gedung DPRD. Mereka tidak hanya bersiaga di luar gedung, tapi juga berkeliaran
di dalam gedung. Dalam suasana yang relatif mencekam itu, pemilihan putaran
terakhir dilaksanakan. Sidang dihadiri 69 orang. Secara hitung-hitungan,
pasangan Djoko-Atut akan bersaing keras dengan pasangan Ace Suhaedi- Tb. Mamas.
Masing-masing pasangan memiliki dukungan 24 kursi dari 69 kursi di DPRD. Ace-Tb.
Mamas didukung PDI Perjuangan, yang memiliki 24 kursi. Sedangkan Djoko-Atut
didukung Golkar (12 kursi) dan PPP (12 kursi). Namun, isu yang beredar, Ace
mengalihkan dukungannya kepada pasangan Djoko-Atut, sehingga Tb. Mamas seperti
berjuang sendirian. Setelah dilakukan pencoblosan dengan sistem tertutup,
terpilihlah Djoko-Atut. Mereka menang dengan perolehan 37 suara. Dari sinilah
kemudian sejarah gelap Banten terpuruk dalam kekuasaan dinasti dimulai.
Chasan, yang
sukses mengantarkan Atut sebagai wakil gubernur, lantas menancapkan
kuku-kukunya. Dari data-data yang dikumpulkan Syarif dalam buku Politik Lokal,
pria yang menyebut dirinya sebagai gubernur jenderal itu menjadi pemerintah
bayangan yang mengendalikan Pemerintah Provinsi Banten.
0 komentar:
Post a Comment