KLUB ELITE SEPAKBOLA MAINAN PARA TRILYUNJER DUNIA



KLUB ELITE SEPAKBOLA MAINAN PARA TRILYUNJER DUNIA

     “KLub-KLub di Liga Primer Inggris merupakan properti yang ‘panas’. Para pengusaha ini mencari sesuatu yang glamor, seksi, dan menyenang­ kan,” kata Andrew Brandt, mantan Presiden Green Bay Packers, beberapa bulan lalu. Green Bay adalah tim sepak bola dari Wisconsin, Amerika Serikat. Glamor, seksi, dan gengsi. Demi tiga kata itu, para triliuner dunia rela menghamburkan duit ratusan mi­ liar, bahkan triliunan, rupiah untuk memoles klub­klub sepak bola di Inggris. Selama sepuluh tahun menguasai Chelsea, salah satu orang terkaya Rusia,
      Roman Abramovich, menggelntorkan duit lebih dari 2 miliar pound sterling atau sekitar Rp 36,6 triliun. Hampir sebesar anggaran pemerintah DKI Jakarta per tahun. Siapa bilang uang tak bisa membeli gelar juara. Berton-ton duIt Abramovich sontak menyulap Chelsea menjadi klub elite di Liga Primer. Selain Arsenal dan Manchester City, hanya Chelsea yang sanggup menjegal Setan Merah dari Old Trafford dalam dua dekade terakhir. Bukan cuma titel juara Liga Primer yang bisa diboyong anak ­anak Abramovich, tapi juga gelar paling bergengsi, Liga Champions, liga para juara di Eropa.    
      Tiga bulan lalu, juragan suku cadang kaya raya dari Illinois, Amerika, Shahid ‘Shad’ Khan, membeli klub Fulham dari Mohamed al­Fayed, pemilik jaringan toko mewah Harrods. Tak jelas berapa nilai transaksi itu, tapi diperkirakan tak kurang dari US$ 319 juta atau sekitar Rp 3,5 triliun. Shad telah memiliki klub sepak bola ala Amerika, Jacksonville Jaguars. Pada suatu masa, Al­Fayed pernah bersumpah men­ jadikan The Cottagers—julukan Fulham—sebagai “Man­chester United dari Selatan”. Kita menjadi saksinya, Fulham tak pernah bisa mendekati kehebatan si Setan Merah. “Fulham tak akan pernah bisa berkompetisi melawan Chelsea,” Steve Naulty, pendukung lama Fulham, blak ­ blakan. Shad sepertinya tak segila Abra­movich atau Mansour bin Zayed al ­ Nahyan,  pemilik Manchester City.
      Cita­cita keturunan Pakistan paling tajir  itu tak muluk ­muluk a mat. Dia berharap isi kantong Fulham cukup sehat dalam jangka panjang, tak bergantung pada setoran duit dari pemiliknya. Supaya bisa hidup dari kantong sendiri, pengelola Craven Cot­ tage harus jungkir balik mencari duit. Mereka berencana memperbesar Stadion Craven Cottage sehingga bisa menampung 30 ribu penonton dan gencar mencari sponsor. “Fulham, bahkan setelah nanti aku tak ada lagi, tak boleh bergantung pada kemurahan hati seseorang,” kata Shad dua pekan lalu.
✩✩✩
       Properti panas itu tak cuma di Liga Inggris. Juragan ­ jurag an besar dari Timur Tengah, Rusia, Amerika Serikat, dan beberapa dari negara di Asia Tenggara juga mem­ buru “mainan ­mainan ” mahal di liga­liga lain. Walaupun tak setinggi gengsi klub di Liga Primer Inggris, klub­klub di Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman tak sepi peminat. Dua pekan lalu, trio pengusaha Indonesia, Erick Thohir, Rosan P. Roeslani, dan Handy Soetedjo, memborong 70 persen saham Inter Milan dari pemilik lama, Massimo Moratti. Bakal seperti apa gaya manajemen Erick Thohir dan kawan ­kawann ya mengelola Inter? Apakah bakal meniru gaya Abramovich yang jor­joran?  “Aku seorang pengusaha, tapi lebih dari itu, aku se­ orang pendukung dan pencinta olahraga,” kata Erick. Dalam dua pekan, sulit menyimpulkan bakal seperti apa sentuhan dan pengaruh Erick di San Siro, kandang Inter Milan.
      Macam ­macam  gaya jutawan pemilik klub. Ada pe­milik yang agresif dan ambisius seperti Roman Abra­ movich, Dmitry Rybolovlev, dan Mansour bin Zayed al ­Nahyan . Mereka barangkali tak terlampau peduli apakah klub miliknya untung atau buntung. “Ada  ekskl usivitas luar biasa memiliki sebuah klub elite. Cuma ada 100­an klub elite di dunia. Jadi ini benar­ benar mainan pamungkas,” ujar Robert Boland, konsultan olahraga bagi sejumlah triliuner. Lahir di Kota Perm, Rusia, 47 tahun silam, Dmitry lu­ lus sebagai dokter spesialis jantung dari Perm Medical Institute. Dia menumpuk kekayaannya dari perusahaan pupuk miliknya, Uralkali. Tiga tahun lalu dia menjual se­ bagian besar sahamnya di Uralkali. Majalah For b es  me­ naksir kekayaan Dmitry sekitar US$ 9,1 miliar atau Rp 92 triliun, menjadikannya orang terkaya urutan ke ­119 di dunia.
       Dengan duit segudang, Dmitry memborong rupa ­rupa b arang. Dia membeli apartemen senilai US$ 88 juta atau hampir Rp 900 miliar di New York untuk putrinya, Ekaterina Rybolovleva. Beberapa bulan lalu, untuk hadiah ulang tahun Ekaterina, Dmitry membeli Pulau Skorpios di Yunani senilai US$ 100 juta. Tapi, dari semua duit yang dia hamburkan, pembelian klub sepak bola AS Mo­ naco dua tahun lalulah yang mengibarkan namanya. Setelah dua tahun sempat mencicipi berlaga di divisi dua, pada musim kompetisi lalu AS Monaco berhasil menjuarai Ligue 2 dan berpromosi ke Ligue 1. Tak mau kalah dari seterunya, Paris Saint ­Germai n, Dmitry habis ­ habis an memperkuat pasukan Les Rouge et Blanc. Tim merah putih Monaco menjadi salah satu yang paling agresif di bursa transfer musim ini. Dmitry sudah memb­ elanjakan 126,7 juta pound sterling atau sekitar Rp 1,99 triliun untuk mendatangkan Radamel Falcao, James Rodriguez, Joao Moutinho, dan Jeremy Toulalan. Tapi ada pula Amancio Ortega, triliuner terkaya di Eropa dan pemilik Deportivo La Coruna.
       Kekayaan Ortega hanya kalah dari Carlos Slim Helu dan Bill Gates. Amancio sangat tertutup dan menjauhi pub­ likasi media. Sepanjang hidupnya, bisa dihitung jari sebelah tangan berapa kali pemilik Zara ini bersedia melayani wartawan. Tak jarang dia sarapan di kantin perusahaan ber­ sama para karyawannya. Baju “seragam” sehari ­ harin ya hanyalah jas biru dan kemeja putih tanpa dasi. “Dia mungkin orang terkaya ketiga di dunia, tapi bagiku, dia hanya orang yang baik,” kata Jose Martinez, teman semasa kecil Ortega. Setiap Natal, Ortega masih rutin mampir di rumahnya sembari menenteng sebotol anggur. Namun nasib Deportivo tak sekinclong mesin duit Ortega. Musim lalu, Super Depor tersuruk ke urutan ke ­19 di kla semen La Liga. Walhasil, Super Depor tak lagi super, terpental dari daftar klub elite di Spanyol.
        Kini Deportivo terpaksa merangkak lagi di Divisi Segunda. Tak ada tanda ­tanda O rtega bakal bermurah hati, menggelontorkan duit ke klubnya, untuk menolongnya kembali ke liga utama Spanyol. “Aku tahu apa penyakit klub ini. Diagnosisnya gampang. Aku akan meminta Amancio Ortega men­ gulurkan tangan,” ujar Fernando Vazquez, Manajer Deportivo, be­ berapa bulan lalu sebelum Super Depor tergusur ke Divisi Seg­ unda. Namun sepertinya Ortega membiarkan begitu saja Depor­ tivo turun kelaS
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment