Sufi-Sufi
Modis, Logis, & Wangi
Mereka tidak Menjauhi kehidupan dunia untuk
Mendekat kepada tuhan. Makin logis serta taMpil Modis dan wangi saat Mengkaji
agama.
Baqir tampil santai. Mengenakan tunik
warna abu-abu, rambut gon- drongnya dibiarkan tergerai. Dari bibirnya terlontar
kata mahabbah. Pagi itu, 27 orang merubung Baqir. Penampilan mereka
modis dan wangi. Seorang perempuan di antara mereka menenteng tas bermerek
Chanel. Baqir dan orang-orang yang merubungnya tidak sedang berpesta. Mereka
sedang mengikuti kajian tasawuf di Yayasan Paramadina di Pondok Indah Plaza I,
Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta, Rabu pagi pekan lalu. Tidak terlihat simbol-simbol
pengajian pada umumnya. Perempuan yang mendominasi kajian ini, misal- nya,
nyaris tak ada yang berkerudung.
Tapi pagi itu mereka tengah mengaji
serius, mempelajari tasawuf alias sufisme, ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa dan menjernihkan akhlak untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Baqir menjadi pemandu kajian yang telah memasuki sesi ke-134 itu. Pria asal
Singapura ini telah bertahun- tahun tinggal di Jakarta. Tapi ia belum bisa
menghapus aksennya. Sesekali terlontar istilah dalam bahasa Inggris dari mulutnya,
menyeling bahasan tentang mahabbah atau “cinta”, pada pertemuan itu. Baqir
memaparkan beda makna mahabbah dan hayama. Dua istilah itu sama-sama
berarti “cinta” tapi punya makna yang berbeda.
Mahabbah adalah cinta sejati kepada Sang Pencipta,
sedangkan
hayama berarti cinta seorang manusia kepada manusia
lain.Mahabbah adalah cinta yang
tak bersyarat, cinta yang tak berbatas, cinta tertinggi kepada Sang Pencipta,
yang mampu membuat seseorang berbuat di luar nalar. “Rasa cinta akan membuat
seseorang ingin selalu bertemu dengan Sang Pencipta. Cinta akan membuat Seusai
pemaparan, sejumlah peserta masih merubung Baqir demi mendapat jawaban atas
pertanyaan yang menggayuti benak mereka. “Mereka mencari kepuasan intelektual,”
Baqir menjelaskan.
Kajian tasawuf Yayasan Paramadina telah
berlangsung hampir 26 tahun. Saat diluncurkan pada 1987, kajian ini sempat
menjadi buah bibir karena dilak- sanakan di sebuah hotel bintang. Resital piano
kian membuat kajian ini makin berbeda. Awalnya, kajian ini merupakan paket dari
kajian Nurcholish Madjid yang bertajuk “Perjalanan Menuju Keabadian”. Kajian
disajikan secara populer. Meski berupa pengajian, yang dijadikan rujukan utama
bu- kan hanya Alquran dan hadis. Nurcholish (almarhum) juga sering mengutip
dari sumber filsafat dan merujuk pada tokoh nonmuslim. Ia, misalnya, merujuk
Martin Heidegger dan Robin Hood. “Menjadi seorang muslim, seseorang harus mengambil
tanggung jawab pribadi yang sangat besar,”
demikian biasanya Nurcholish menutup kajiannya.
Pengajian tidak biasa itu lantas menjadi
pilihan kalangan menengah Jakarta. Pengajian ini menjadi obat bagi mereka yang
haus belajar tentang sufisme modern. Kini, setelah hampir 26 tahun digelar,
kajian ini tidak banyak berubah. Para peserta tetap banyak. Hari itu jumlahnya
27 orang. Mereka tak hanya datang dari seputaran Pondok Indah, tapi ada juga
yang datang khusus dari Bekasi. Mereka mau datang jauh-jauh, meski untuk setiap
kali pertemuan dikenai biaya Rp 60 ribu. “Apa yang kami dapatkan jauh
bernilai,” ujar Niken, yang mengaku sudah setahun ini ikut kajian tasawuf
Paramadina. Perempuan yang tinggal tak jauh dari kantor Yayasan Paramadina ini
menuturkan, sebelumnya pernah mengikuti kajian di tempat lain. Namun ia merasa
belum menemukan apa yang dicari. Atas saran seorang rekannya, Niken lantas
bergabung dengan pengajian ini. Ia kian rajin ikut kajian di Paramadina setelah
me- nemukan apa yang ia cari selama ini. Pengajian ini, menurut Niken, lebih
rasional. “Tidak pernah menyebutkan dilarang atau harus mengerjakan ini-itu.
Tapi lebih mengetuk kesadaran kita, sehingga kita justru lebih terpanggil
melaksanakan ibadah,” ujarnya. Menurut Baqir, kajian ini memang tidak melulu
menjelaskan perintah dan larangan, tapi juga mengajak pesertanya mendekat
kepada Tuhan dengan cara yang paling intim. “Tasawuf seperti di puncak gunung,
tapi kan tersebar ke seluruh gunung itu. Rasa cinta kepada Tuhan akan terbawa
ke kehidupan keseharian kita,” ujarnya. Larisnya kajian tasawuf
Yayasan Paramadina merupakan salah satu
potret upaya kelas me- nengah Jakarta dalam “menemukan” kembali Tuhan. Mereka
memang tak menempuh laku para sufi zaman dulu, yang menjauhi kehidupan duniawi.
Para “sufi metropolis” ini tetap sibuk dengan aktivitasnya tapi mencoba meng-
isi kekosongan jiwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Fenomena larisnya
kajian seperti ini jamak ditemu- kan di Jakarta dan kota besar lainnya.
Selain Paramadina dan Tazkia, pengajian
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) serta Ustaz Arifin Ilham diminati kaum urban.
Dalam tausiahnya, Aa Gym dan Arifin Ilham me- nyampaikan esensi tasawuf sebagai
praktik dalam kehidupan sehari-hari. Tausiah mereka minim indok- trinasi, tapi
lebih menggugah kesadaran untuk bertuhan. Kaum “sufi metropolis” ini
menginginkan sesuatu yang praktis. Mereka tidak menginginkan mursyid atau guru
otoriter, yang hanya mengajarkan perintah dan larangan, melainkan ustaz yang
menggugah kesadaran dan memberi pencerahan. Aa Gym mengaku sama sekali tak
berpretensi menjadi mursyid. Ia tak pernah mempelajari tasawuf. Tapi, kalaupun
ada penilaian bahwa tausiahnya menyampaikan esensi tasawuf, itu di luar
kemauannya. “Yang harus diprioritaskan adalah mengenalkan Al- lah lewat nama
dan sifat-sifatnya. Jika sudah menge nal, jemaah akan selalu mencari Allah
sendiri,” tutur Aa Gym kepada majalah detik.
Modernisasi tampaknya tidak akan
mematikan reli- giositas seseorang. Antropolog dari Universitas Indonesia,
Ismail Fajrie Alatas, meyakini modernisasi ha- nya mengubah gaya pendekatan
kepada Tuhan. Orang sekarang, terutama
kalangan menengah yang mapan secara ekonomi dan berpendidikan tinggi, memilih menggunakan
pendekatan logika dalam menemukan kembali Tuhannya. Mereka tidak menerima
ajaran agama begitu saja, tapi secara kritis mengkajinya demi memberi makna
bagi jiwa. “Saat ekonomi masyarakat makin baik, makin berkembang di situ
kebutuhan untuk kebera- gamaan, keilmuan, dan lain-lain,” ujar pria yang biasa
disapa Aji ini
0 komentar:
Post a Comment