KISAH MUALAF DI NEGERI INGGRIS



Ada lebih dari 2 juta warga muslim di inggris. tapi menjadi seorang muslim, Apalagi bagi mualaf, di negeri itu, menurut penelitian universitas Cambridge, kadang bukan urusan gampang.



Ada lebih dari 2 juta warga muslim di inggris. tapi menjadi seorang muslim, Apalagi bagi mualaf, di negeri itu, menurut penelitian universitas Cambridge, kadang bukan urusan gampang.

     Perjalanan ke Kota Qom, Iran, tiga tahun lalu memutar balik hidup Lauren Booth. Suatu malam, mantan wartawan New Statesman  dan Mail on Sunday di Inggris itu mengunjungi makam Fatimah al-Ma’sumah, putri Imam Syiah Ke- tujuh, Musa al-Kadhim, di Qom. “Aku duduk diam dan merasa seperti disuntik mor- fin, tiba-tiba merasakan kebahagiaan luar biasa,” kata Lauren beberapa waktu lalu. Beberapa pekan setelah pulang ke Inggris, saudara ipar mantan Perdana Men- teri Inggris Tony Blair tersebut memutuskan memeluk agama Islam. Sejak saat itu, daging babi dan minuman beralkohol menjadi barang haram baginya. “Aku membaca Al-Quran setiap hari, dan aku juga sudah 45 hari tak minum minuman keras.
     Rentang waktu paling lama dalam 25 tahun,” kata Lauren, kini 46 tahun, kala itu. “Anehnya, sejak memeluk Islam, aku malah tak terta- rik lagi menyentuh minuman keras, padahal biasanya aku mengakhiri hari-hariku dengan segelas atau dua gelas anggur.” Sudah lama Lauren menaruh simpati pada Palestina dan negara-negara di Timur Tengah. Berulang kali dia menyampaikan kritik terbuka terhadap kebijakan dan sikap saudara iparnya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, terutama yang terkait dengan Islam dan keterli- batan Inggris dalam perang di Timur Tengah. Pada mulanya, ketika dia mulai mengenakan jilbab, tak ada soal dari orang-orang di sekitarnya. “Aku sempat bersembunyi selama beberapa minggu, sampai aku sadar orang-orang menyambutku deng- an senyum,” kata Lauren beberapa pekan lalu. ”Tapi, selama beberapa minggu ini, di angkutan umum aku bertemu dengan laki-laki yang melihatku dan seolah-olah hendak memukuli perempuan muslim. Aku tinggi dan perempuan kulit putih, tak gampang diancam, tapi kali itu aku merasa takut.” Jumlah orang seperti Lauren ini tak sedikit di Ing- gris.
      Menurut laporan US Pew Forum, selama periode 2001 hingga 2011, jumlah penduduk muslim di Inggris berlipat dari 1,6 juta orang menjadi 2,9 juta orang. Laporan lain yang dilansir Faith Matters menyatakan ada 100 ribu orang yang beralih memeluk agama Is- lam sejak 2001 hingga 2010. Jayne Kemp memutuskan meninggalkan keyakinan yang dia anut selama ini dan beralih memeluk Islam tiga bulan lalu. Ibu tunggal dengan dua anak yang be- kerja sebagai polisi komunitas di Eccles, Manchester, itu menaruh simpati terhadap Islam setelah mena- ngani korban kekerasan. “Selama ini aku berpikir Is- lam identik dengan perempuan yang dipaksa menjadi ‘budak’ di dapur,” kata Jayne. “Tapi belakangan aku menemukan, Islam itu tentang bagaimana kita sabar dan menghormati orang lain.”
     Menurut Jayne, saat itu dia tak sedang “galau”. “Aku tak mencari agama, tapi terhadap setiap pertanyaan tentang Islam, aku selalu menemukan jawabannya... aku pikir aku telah jatuh cinta pada Islam,” ujar Jayne. Dia beruntung, teman-temannya di Kepolisian Greater Manchester tak mempersoalkan perubahan keyakinannya. Bahkan dia diminta membantu perubahan per- aturan di Kepolisian Manchester soal hijab. Menjadi seorang mualaf di Inggris tak selalu tampak gampang dan mulus seperti penuturan Jayne, teruta- ma setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001 dan pembunuhan seorang tentara Inggris oleh dua warga Inggris keturunan Nigeria yang belum lama memeluk Islam, pada akhir Mei lalu.
      Penelitian yang dilakukan beberapa bulan lalu oleh tim dari Prince Alwaleed bin Talal Centre of Islamic Studies, Universitas Cambridge, terhadap puluhan perempuan Inggris yang baru memeluk Islam meng- ungkap rupa-rupa kisah dan pengalaman menjadi mualaf di Negeri Ratu Elizabeth. Menurut Yasir Sulaeman, ketua tim peneliti, para perempuan Inggris itu menghadapi macam-macam pertanyaan tak sedap dari sekitarnya kala memutus- kan beralih keyakinan, apalagi tatkala mereka mulai mengenakan jilbab. “Mengapa seorang perempuan Barat yang liberal memutuskan memeluk keyakinan yang akan mengekang mereka?” Yasir menulis dalam laporannya.
     Di Inggris, hijab menjadi kutub ekstrem dari kebe- basan bagi para perempuan untuk mengenakan pa- kaian serba minim. Saat seorang perempuan Inggris berkulit putih memutuskan memeluk Islam dan me- ngenakan hijab, menurut Yasir, secara sosial mereka bakal kehilangan status sebagai seorang “British”, bahkan kadang jilbab itu bisa memupus karier dalam pekerjaan. Tanggapan keluarga pun tak seragam. “Ketika aku mulai mengenakan kerudung dan pakaian sederhana, ibuku merasa malu. Dia dan nenekku berpikir itu hanyalah pemberontakan seorang remaja,” Anisa Atkinson, 32 tahun, menuturkan pengalamannya.     
      Seorang mualaf yang berasal dari keluarga yang terbuka sama sekali tak menemui persoalan. Sedangkan perempuan mualaf dari latar belakang ateis dipandang oleh keluarganya telah kehilangan rasionalitasnya. Ada pula kisah agak ekstrem. Sang ayah mengusirnya dari rumah, sementara sang ibu bergabung deng- an kelompok yang memandang Islam sebagai suatu “bahaya”. Kakaknya memilih bergabung dengan Partai Nasional Inggris untuk menghadang islamisasi di negaranya. “Keluarganya selalu mengatakan dia telah mati bila ada tetangga yang bertanya,” Yasir mengutip pengalaman seorang peserta penelitian.
Kota Qom, Iran, tiga tahun lalu memutar balik hidup Lauren Booth. Suatu malam, mantan wartawan New Statesman  dan Mail on Sunday di Inggris itu mengunjungi makam Fatimah al-Ma’sumah, putri Imam Syiah Ke- tujuh, Musa al-Kadhim, di Qom. “Aku duduk diam dan merasa seperti disuntik mor- fin, tiba-tiba merasakan kebahagiaan luar biasa,” kata Lauren beberapa waktu lalu. Beberapa pekan setelah pulang ke Inggris, saudara ipar mantan Perdana Men- teri Inggris Tony Blair tersebut memutuskan memeluk agama Islam. Sejak saat itu, daging babi dan minuman beralkohol menjadi barang haram baginya. “Aku membaca Al-Quran setiap hari, dan aku juga sudah 45 hari tak minum minuman keras.

     Rentang waktu paling lama dalam 25 tahun,” kata Lauren, kini 46 tahun, kala itu. “Anehnya, sejak memeluk Islam, aku malah tak terta- rik lagi menyentuh minuman keras, padahal biasanya aku mengakhiri hari-hariku dengan segelas atau dua gelas anggur.” Sudah lama Lauren menaruh simpati pada Palestina dan negara-negara di Timur Tengah. Berulang kali dia menyampaikan kritik terbuka terhadap kebijakan dan sikap saudara iparnya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, terutama yang terkait dengan Islam dan keterli- batan Inggris dalam perang di Timur Tengah. Pada mulanya, ketika dia mulai mengenakan jilbab, tak ada soal dari orang-orang di sekitarnya. “Aku sempat bersembunyi selama beberapa minggu, sampai aku sadar orang-orang menyambutku deng- an senyum,” kata Lauren beberapa pekan lalu. ”Tapi, selama beberapa minggu ini, di angkutan umum aku bertemu dengan laki-laki yang melihatku dan seolah-olah hendak memukuli perempuan muslim. Aku tinggi dan perempuan kulit putih, tak gampang diancam, tapi kali itu aku merasa takut.” Jumlah orang seperti Lauren ini tak sedikit di Ing- gris.
      Menurut laporan US Pew Forum, selama periode 2001 hingga 2011, jumlah penduduk muslim di Inggris berlipat dari 1,6 juta orang menjadi 2,9 juta orang. Laporan lain yang dilansir Faith Matters menyatakan ada 100 ribu orang yang beralih memeluk agama Is- lam sejak 2001 hingga 2010. Jayne Kemp memutuskan meninggalkan keyakinan yang dia anut selama ini dan beralih memeluk Islam tiga bulan lalu. Ibu tunggal dengan dua anak yang be- kerja sebagai polisi komunitas di Eccles, Manchester, itu menaruh simpati terhadap Islam setelah mena- ngani korban kekerasan. “Selama ini aku berpikir Is- lam identik dengan perempuan yang dipaksa menjadi ‘budak’ di dapur,” kata Jayne. “Tapi belakangan aku menemukan, Islam itu tentang bagaimana kita sabar dan menghormati orang lain.”
     Menurut Jayne, saat itu dia tak sedang “galau”. “Aku tak mencari agama, tapi terhadap setiap pertanyaan tentang Islam, aku selalu menemukan jawabannya... aku pikir aku telah jatuh cinta pada Islam,” ujar Jayne. Dia beruntung, teman-temannya di Kepolisian Greater Manchester tak mempersoalkan perubahan keyakinannya. Bahkan dia diminta membantu perubahan per- aturan di Kepolisian Manchester soal hijab. Menjadi seorang mualaf di Inggris tak selalu tampak gampang dan mulus seperti penuturan Jayne, teruta- ma setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001 dan pembunuhan seorang tentara Inggris oleh dua warga Inggris keturunan Nigeria yang belum lama memeluk Islam, pada akhir Mei lalu.
      Penelitian yang dilakukan beberapa bulan lalu oleh tim dari Prince Alwaleed bin Talal Centre of Islamic Studies, Universitas Cambridge, terhadap puluhan perempuan Inggris yang baru memeluk Islam meng- ungkap rupa-rupa kisah dan pengalaman menjadi mualaf di Negeri Ratu Elizabeth. Menurut Yasir Sulaeman, ketua tim peneliti, para perempuan Inggris itu menghadapi macam-macam pertanyaan tak sedap dari sekitarnya kala memutus- kan beralih keyakinan, apalagi tatkala mereka mulai mengenakan jilbab. “Mengapa seorang perempuan Barat yang liberal memutuskan memeluk keyakinan yang akan mengekang mereka?” Yasir menulis dalam laporannya.
     Di Inggris, hijab menjadi kutub ekstrem dari kebe- basan bagi para perempuan untuk mengenakan pa- kaian serba minim. Saat seorang perempuan Inggris berkulit putih memutuskan memeluk Islam dan me- ngenakan hijab, menurut Yasir, secara sosial mereka bakal kehilangan status sebagai seorang “British”, bahkan kadang jilbab itu bisa memupus karier dalam pekerjaan. Tanggapan keluarga pun tak seragam. “Ketika aku mulai mengenakan kerudung dan pakaian sederhana, ibuku merasa malu. Dia dan nenekku berpikir itu hanyalah pemberontakan seorang remaja,” Anisa Atkinson, 32 tahun, menuturkan pengalamannya.     
      Seorang mualaf yang berasal dari keluarga yang terbuka sama sekali tak menemui persoalan. Sedangkan perempuan mualaf dari latar belakang ateis dipandang oleh keluarganya telah kehilangan rasionalitasnya. Ada pula kisah agak ekstrem. Sang ayah mengusirnya dari rumah, sementara sang ibu bergabung deng- an kelompok yang memandang Islam sebagai suatu “bahaya”. Kakaknya memilih bergabung dengan Partai Nasional Inggris untuk menghadang islamisasi di negaranya. “Keluarganya selalu mengatakan dia telah mati bila ada tetangga yang bertanya,” Yasir mengutip pengalaman seorang peserta penelitian.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment