Wawancara dengan ketua MUI terkait label Hallal



Wawancara dengan ketua MUI terkait label Hallal

“Pemerintah yang baik itu tidak banyak mengatur karena sudah mendelegasikan ke masyarakat.”

     Sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang baru, Din Syamsuddin menghadapi sejumlah persoalan. Di Dewan Perwakilan Masyarakat, misalnya, kini tengah dibahas Rancangan Undang ­ Undang Jaminan Produk Halal. Melalui RUU ini, pemerintah lewat Kementerian Agama ingin menarik kewenangan serti­ fikasi halal dari MUI.
     Pada saat hampir bersamaan, MUI disorot publik karena, seperti diwartakan sebuah majalah, ada pengurusnya yang mempermain- kan urusan sertifikasi halal demi keuntungan pribadinya. ”Saya juga sudah cek, tidak ada dana yang masuk ke MUI terkait sertifikasi yang katanya sebesar Rp 780 miliar dalam setahun,” kata Din kepada, 7 Maret lalu, di gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta. Selain itu, Din menerima pengaduan masya- rakat perihal tingkah dai yang kerap tampil di televisi dan berpraktek ala dukun. Belum lagi ada dai yang bertingkah ala preman saat me- nyampaikan ceramah. Bagaimana ia menyikapi semua itu? Berikut ini petikan penjelasannya.

Menteri Agama minta agar sertifikasi halal dilakukan oleh pemerintah. Tang- gapan Anda?
Ya, semua terserah pemerintah dan DPR. Saya kira MUI tidak dalam posisi yang secara mutlak bertahan dan ngotot ingin memper- tahankan. Tapi, pada awalnya, ada tugas atau pemberian tugas oleh negara berdasarkan Undang-Undang (Pangan, 1997). Dulu, pada saat terjadi isu lemak babi pada susu, undang- undang itu dalam salah satu pasalnya menye- butkan, bagi yang ingin mencantumkan label halal, harus mengurus sertifikat halal. Menurut UU Pangan, yang disepakati sebagai lembaga Islam itu adalah MUI, bukan ormas-ormas Is- lam tertentu atau gabungan ormas, karena nanti dikhawatirkan terjadi hiruk-pikuk.

Alasan lain kenapa sertifikasi harus oleh MUI?
Ini kan terkait dengan fatwa ulama. Agama memesankan, makanan yang dikonsumsi itu, selain halal, harus toyiban, baik atau berkuali- tas, berguna bagi kesehatan. Sebab, makanan tidak hanya untuk kepentingan fisik, tetapi juga psikis. Karena kehalalan itu ditentukan oleh agama, maka harus berdasarkan fatwa ulama yang bersifat nasional, yaitu MUI. Mengapa MUI? Karena di dalamnya ada wakil-wakil dari beberapa ormas Islam. Sebelum ada fatwa, tentu harus diteliti oleh para ahli: pangan, gizi, farmasi. Hasilnya dire- komendasikan kepada Komisi Fatwa. Labelisasi bukan dilakukan oleh MUI, melainkan oleh pemerintah atau Badan Pengawas Obat dan Makanan, karena itu ada duitnya. Berapa har- ga satu label, umpamanya permen, itu bukan urusan MUI.
Kalau sekarang diambil oleh pemerin- tah?
Ya, silakan saja, tapi jangan kemudian MUI disuruh jadi pemberi stempel saja. Cuma, pen- dapat saya, yang sudah berjalan di masyarakat, ya, tidak usahlah pemerintah mengambil alih. Masih banyak tugas lain yang harus dilakukan Kementerian Agama. Kalau ada kekurangan, ya kita sempurnakan. Ini katanya fatwa MUI tetapi sertifikatnya dari Kementerian agama. Sertifikat itu terkait dengan fatwa, menyatu. Itu formalitas dari fatwa tersebut.

Intinya, MUI tetap keberatan, ya....
MUI tidak mau kalau ditarik (dan) hanya men- jadi pelengkap, pemberi fatwa (tapi) sertifikat- nya oleh pemerintah. Itu tidak baik. Sebenarnya pemerintah yang baik itu tidak banyak mengatur, karena sudah mendelegasikan ke masyarakat. Kalau mau bikin lembaga fatwa sendiri, silakan. Tapi nanti dikhawatirkan subyektif. Kalau MUI kan lembaga bersama ormas-ormas Islam.

Niat penarikan kewenangan sertifikasi itu hampir berbarengan dengan isu grati- fikasi kepada pejabat MUI?
Saya sudah melakukan verifikasi. Hasilnya dapat saya katakan mengandung banyak ke- tidakbenaran. Saya juga sudah cek, tidak ada dana yang masuk ke MUI terkait sertifikasi yang katanya sebesar Rp 780 miliar dalam setahun.

Kalau soal akomodasi dan uang saku saat verifikasi oleh pejabat MUI?
Untuk meneliti, halal certifier itu kan harus berkunjung, tidak bisa jarak jauh. Maka tiket- nya, akomodasinya, ditanggung oleh perusa- haan pengundang. Kalaupun kemudian ada
lumsum, amplop, itu bukan gratifikasi. Itu biaya wajar yang perlu dikeluarkan perusahaan. Kalau tidak, MUI tidak bisa berangkat. Kemarin kami harus berangkat ke Cile (untuk memverifikasi kehalalan), karena Cile juga memasukkan daging (ke Indonesia). Tetapi, karena perusahaan itu tidak mampu memberikan biaya, ya MUI tidak bisa berangkat. Kan MUI bukan
lembaga negara.

Masalah lain, di televisi bermunculan dai-dai baru seperti selebritas yang terkes- an mengkomersialkan ayat-ayat Tuhan?
Itu sudah diadukan ke MUI dan sudah dila- kukan pertemuan dengan para dai, ustad, dan juru dakwah yang populer di media massa. Fenomena dai-dai seleb itu ada positif dan ne- gatifnya. Tetapi, bagaimanapun, mereka adalah pion-pion dakwah Islam yang bermanfaat. Ja- nganlah hanya karena salah sedikit kemudian langsung dibantai.

Menjelang pemilu, sejumlah calon presi- den menemui Anda. Minta dukungan?
Saya kira ini perlu dipahami dan disikapi sebagai sebuah kewajaran. Tidak perlu disikapi atau diartikan sebagai manuver politik. Pimpin- an Pusat Muhammadiyah juga sering meng- undang para tokoh bangsa, mengadakan apa yang dinamakan silaturahmi tokoh bangsa. Ada khitah politik sejak 1971, bahwa Muham- madiyah tidak memiliki hubungan struktural,organisatoris, serta tidak berafiliasi denganorganisasi politik mana pun. Jadi organisasimemberi kebebasan kepada kader-kadernyaatau anggotanya untuk berjuang atau berdak- wah politik lewat berbagai partai mana pun. Sempat ada penekanan penerjemahan bah- wa khitah itu adalah menjaga jarak atau takea distance terhadap partai politik, jadi tidak kemana-mana. Karena itu, organisasi tidak mene- rima tokoh-tokoh atau menerima kunjunganpartai-partai politik. Namun ternyata perjuangan politik itupenting. Kita membutuhkan juga dukunganpartai-partai politik, khususnya dalam prosespengambilan keputusan strategis.
Misalnya ada undang-undang yang olehMuhammadiyah dinilai merugikan rakyat, ber- tentangan dengan konstitusi, terutama sejakera reformasi. Muhammadiyah memprakarsaigerakan jihad konstitusi dengan melakukan ju- dicial review atas UU Migas, UU Sumber Daya Air, Mineral dan Batu Bara, Investasi, Panas Bumi, dan lain-lain.

Bagaimana agar upaya itu tidak dibon- cengi motif ekonomi dari pihak lain?
Ya, mungkin saja ada berbagai motif atau kepentingan orang-orang yang mendukung upaya judicial review. Bagi saya atau Muham- madiyah, itu tidak jadi masalah selama muaranya sama. Tapi sejauh ini saya menengarai tidak ada motif lain kecuali memang sama bertemu pandangan untuk menegakkan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.

Terkait dengan UU Sumber Daya Air,
Anda menyebut air kemasan itu haram?
Saya kira ada pengutipan yang tidak utuh. Pernyataan itu terlontar saat saya menyam- paikan pidato dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional Majelis Tarjih di Palembang. Kebetulan salah satu tema yang dibahas adalah fikih tentang air tapi tidak spesifik dalam konteks air kemasan. Tetapi, untuk air kemasan yang dikuasai oleh sebuah perusahaan, apalagi asing, yang mengeruk keuntungan, menyeng- sarakan rakyat, kemudian merusak lingkungan hidup, menghabisi sumber mata air kita, ya itu bentuk al-fassat, bentuk kerusakan yang oleh agama, oleh Al Quran, itu sangat ditentang. Saya kira, saya tidak sampai menyatakan itu haram mutlak. Mungkin kawan wartawan yang mendengarnya dibuat haram mutlak. Sebenarnya ceramah saya pada waktu itu le- bih bersifat pertanyaan dan tantangan kepada para ulama serta cendekiawan yang sedang mengikuti munas, mempertimbangkan jika terjadi kerusakan. Karena agama menyuruh menegakkan kebaikan.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment