LESU USAHA PENGGEMUKAN LEMBU
PEMBATASAN KUOTA IMPOR SAPI BAKALAN
MEMUKUL BISNIS PENGGEMUKAN. BIASA MERAWAT SAMPAI 7.000 EKOR, SEKARANG HANYA
MENJAGA 1.500 EKOR. MEREKA TERPAKSA MENGGEMUKKAN LEMBU BAKALAN LOKAL MESKI
HARGANYA MAHAL.
Ratusan sapi itu berjajar rapi menghadap kotak beton makanan dengan kepala
terikat di kandang milik perusahaan penggemukan PT Agrisatwa Jaya Kencana di
kawasan Legok, Tangerang, Banten. Mereka sama sekali tidak terganggu saat
petugas mengaduk-aduk makanan di depannya. Kompleks penggemukan sapi yang
berkapasitas 10 ribu ekor itu sekarang hanya berisi sekitar 1.500 ekor,
sehingga tampak sepi. Banyak kandang yang kosong- melompong. Ratusan sapi
terikat itu mengisi sebagian kecil kandang-kandang. Sebagian kandang lain
berisi sapi-sapi yang dibiarkan berbaur tanpa diikat. “Yang diikat itu sapi
(bakalan) lokal,” ucap Joko Priyono, manajer kompleks penggemukan tersebut.
Sapi lokal ini bisa dibilang “pendatang baru” di sana. Semula perusahaan itu
hanya membesarkan sapi bakalan impor dari Australia. Tapi, akibat kisruh soal
sapi dari Australia sejak dua tahun lalu, mereka ter- paksa membesarkan sapi
lokal meski harga kulakan lebih mahal.
Awalnya Australia menghentikan ekspor
karena menuduh cara Indonesia menyembelih sapi dipandang sebagai penyiksaan.
Saat sejumlah rumah potong hewan mulai mendapat sertifikat bisa menyembelih
sesuai dengan standar Australia, pemerintah Indone- sia membalas dengan
membatasi kuota impor sapi bakalan dengan alasan swasembada. Australia biasa
mengirim sapi bakalan ke Indonesia sesuai dengan peraturan, impor hanya
diizinkan untuk sapi dengan berat maksimal 350 kilogram. Perusahaan penggemukan
akan menambah berat sekitar 100 kilogram dalam jangka 100 hari sebelum dijual
agar memberi nilai tambah di dalam negeri. Secara resmi, pemerintah Indonesia
beralasan pembatasan impor ini untuk mencapai target swa sembada lembu tahun
depan. Tapi, karena tidak ada sapi bakalan, sapi siap potong pun berkurang.
Harga daging di pasar melejit. Mahalnya harga juga membuat para pemilik sapi
buru-buru menyembelih ternaknya itu. Sensus sapi 2011 memperlihatkan Indonesia
memiliki populasi 14,8 juta ekor sapi, tidak termasuk kerbau sekitar 1,2 juta
ekor. Tapi, pada Mei silam,
Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah
sapi potong turun, tinggal 12 juta ekor. Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot
Indonesia (Apfindo) tahun lalu mengusulkan agar tahun ini pemerintah Indonesia
mengizinkan impor 403 ribu ekor sapi bakalan. Tapi pemerintah hanya mengizinkan
impor 267 ribu ekor sapi bakalan. Itu usul Apfindo tahun lalu. Tahun ini? “Kami
tidak lagi mengusulkan jumlah yang ideal kepada pemerin- tah,” kata Koordinator
Apfindo Dayan Antoni. Dayan mengatakan, tanpa penambahan impor sapi bakalan,
harga daging akan naik dan sapi betina produktif yang mestinya bisa menjadi
induk bakal dipotong. “Peringatan ini sudah kami sampaikan ke- pada
pemerintah,” ujarnya. Adapun pemerintah tidak memberi isyarat bakal menambah
jatah impor dalam jumlah besar.
Menteri Pertanian Suswono mengaku
sedang menggelar eva- luasi terhadap kebutuhan konsumsi daging sapi dalam
negeri berdasarkan jumlah stok daging sapi dan sapi bakalan. “Kalau memang
faktanya permintaan meningkat dan perlu ada tambahan kebutuhan, ya tidak ada
masalah,” katanya. “Tapi kami tidak akan gegabah untuk menambah impor.” Karena
kurangnya pasokan, bisnis penggemukan sapi seperti yang dikelola Agrisatwa Jaya
Kencana di Legok menjadi surut. Sampai 2010, sebelum ada ontran-ontran impor
sapi Australia, kandang mereka sering penuh, merawat sampai 10 ribu ekor sapi.
Setelah muncul pertikaian pada 2011,
pasokan sapi bakalan mulai berkurang. Mereka hanya menggemukkan 5.000-6.000
ekor sapi. Angka ini bertahan sampai triwulan pertama tahun ini, yang merupakan
sisa dari pasokan akhir tahun sebelumnya. Tahun ini pasokan semakin sedikit.
Menjelang Le- baran, mereka hanya menggemukkan sekitar 5.000 ekor. Sempat
datang 2.600 ekor siap potong untuk menekan harga menjelang Lebaran, sapi
Australia itu hanya “singgah” sekitar dua minggu, bukan 3-4 bulan seperti
biasa. Sebagian besar sapi itu dipotong saat Lebaran. “Sekarang tinggal sekitar
1.500,” kata Joko. Meski jumlah sapi yang digemukkan berkurang, tidak semua
perusahaan penggemukan terpukul dari sisi pemasukan. Ini seperti yang dialami
anak usaha Japfa Group, PT Santosa Agrindo, yang memiliki peternakan
penggemukan sapi di Lampung dan Jawa Timur.
Meski sapi berkurang, pendapatan
tertutupi oleh melonjaknya harga daging sapi. “Kami menikmati tingginya harga
akibat sedikitnya pasokan, tapi permintaan tak berkurang,” ucap Kepala
Penjualan dan Pemasaran Santosa Agrindo Ignatius Adiwira.Santosa Agrindo tidak
hanya menggemukkan sapi bakalan, tapi juga memotong dan menjual dalam bentuk
daging sapi. Sedangkan Agrisatwa tidak memo- tong sendiri sapi hasil
penggemukan, sehingga cukup terpukul oleh pengurangan kuota. Untuk menjaga
bisnis tetap berjalan, Joko menga- takan, mereka terpaksa membeli sapi bakalan
lokal. “Kalau tak kami paksakan menggemukkan sapi lokal, kandang kami kosong
dan karyawan terpaksa dirumahkan,” ucapnya.
Saat ini pun mereka sudah merumahkan
sebagian karyawan lepas. Semula karyawan mereka mencapai 600 orang. “Kini
tinggal separuhnya,” ujarnya. Padahal sapi bakalan lokal ini memiliki beberapa
masalah. Pertama, harga per kilogram sapi hidup lebih mahal. “Harga sapi
bakalan lokal Rp 35-37 ribu per kilogram,” kata Joko. Harga ini jauh di atas
harga sapi impor, yang hanya Rp 29-30 ribu per kilogram. Selain itu, soal
genetika sapi lokal, sebagian besar kurang cepat tumbuh. Lembu impor bisa
bertambah 1-1,5 kilogram per hari di peternakan penggemukan. Dengan kecepatan
ini, sapi itu bisa ditargetkan bertambah berat setidaknya 100 kilogram dalam
tiga bulan. Sedangkan sapi lokal hanya bertambah 0,6-0,7 kilogram per ekor per
hari.
Tidak hanya itu, sebagian sapi lokal
gemar berkelahi dengan sesamanya sehingga harus diikat, berbeda dengan sapi impor
yang cukup dibiarkan begitu saja. Perilaku sosial sapi lokal yang tidak cinta
damai ini akibat biasa diikat dari kecil, berbeda dengan sapi Australia yang
terbiasa dibiarkan hidup lepas. Karena sapi mesti diikat, bagian belakang
kandang tidak terpakai dan sapi lokal boros lahan. Biasanya satu unit kandang
ukuran 20 x 8 meter persegi bisa memuat 45 ekor, tapi untuk sapi lokal hanya
bisa menampung 18 ekor. Sekarang harapan para pengusaha penggemukan sapi adalah
keputusan pemerintah yang akan meng- ubah sistem impor. Salah satu keputusan
untuk menahan rupiah tak ambruk, pemerintah menyebutkan tata niaganya akan
diubah menjadi sistem harga, bukan kuota. Direktur Eksekutif Apfindo Joni Liano
pun sekarang menunggu aturan pelaksanaannya. Apakah hanya berlaku untuk impor
daging atau sapi bakalan. “Kami juga ingin mengetahui mekanismenya nanti
seperti apa,” ujar Joni.
0 komentar:
Post a Comment