REMPAH –
REMPAH SEBAGAI OBAT
Seperti kayu manis, merica, pala, dan
cengkeh, mulai menemukan jalannya ke Eropa. Sejak masa sejarah paling awal
tersebut, sudah terdapat orang-orang—khususnya pelayar yang mencoba mencari dan
melayari jalur rempah ke arah timur. Pada awalnya, perjalanan dan pelayaran
mereka terbatas pada sejumlah kecil pelabuhan. Tapi, dengan perjalanan waktu,
mereka berhasil melayari laut dan samudra lebih jauh, menjangkau pelabuhan yang
lebih jauh pula, sehingga semakin dekat ke bumi tempat berbagai rempah
dihasilkan. Jelas pula, pelayaran melintasi laut dan samudra serta menjangkau
pelabuhan bukan disebabkan oleh semangat pengembaraan—apalagi hasrat untuk
menjajah— melainkan terutama didorong oleh semangat perdagangan.
Dalam masa-masa
ini, perdagangan rempah-rempah sangat lukratif alias amat menguntungkan. Karena
itulah jalur rempah sampai kedatangan kekuatan kolonialisme Eropa tidak
berubah, terutama jalur perdagangan barat-timur. Perjalanan perpindahan
barang-barang—dalam hal ini rempah—dari timur ke barat dengan melintasi laut
dan samudra serta pelabuhan yang melibatkan berbagai bentuk jaringan disebut
sebagai jalur rempah. Terdapat jaringan di antara para pembeli dan penjual; dan
di antara pihak terakhir ini dengan para penanam dan penghasil rempah. Jalur
rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tapi juga sekaligus
menghasilkan pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian-keterampilan,
bah- kan agama, di antara berbagai orang yang berasal dari bermacam tempat yang
jauh. Karena itu, jalur rempah sekaligus juga menjadi melting pot
berbagai konsep, gagas- an, dan praksis. Dan jalur rempah menjadi sarana
perpindahan semua itu dari satu tempat ke tempat lain.
Dari tiga tema
seminar yang digelar dalam rangkaian Museum Week bertajuk “Jalur Rempah The Untold Story” pada 18-25 Oktober, sesi
pembahasan “Rempah dan Seks” paling
banyak
mendapat perhatian dari pengunjung. Seratusan kursi yang disediakan di
auditorium Museum Nasional, Jakarta, hampir seluruhnya terisi, meski jadwal
seminar sebetulnya mundur hampir setengah jam dari seharusnya. Maklum, sesi itu
menampilkan pembicara seksolog terkemuka Zoya Dianaesthika Amirin dan H
Saefudin, praktisi pengobatan seksual Mak Erot.
Zoya menyebut tiga jenis rempah asli Indonesia,
yakni cengkeh, pala, dan kayu manis, sebagai bahan pembangkit libido seksual secara
signifikan. Hanya, konsumsi bahan-bahan tersebut, kata dia, tetap harus dalam
takaran yang tepat. Sebab, bila berlebihan, efeknya justru akan menjadi semacam
racun yang merugikan tubuh. “Para ahli pernah menguji pala pada tikus, ternyata
memang aktivitas seksual si tikus meningkat,” kata Zoya. Sayang, ia tak
menjelaskan lebih lanjut soal khasiat ketiga jenis rempah tersebut mengenai
takaran yang tepat ataupun teknik penggunaannya.
Sebagai psikolog, Zoya lebih banyak
mengulas faktor eksternal yang penting diperhatikan karena berpengaruh pada
kualitas hubungan seksual. Ia antara lain menyebut faktor hormon, kapasitas
otak untuk menciptakan imajinasi dan fantasi, emosi, tingkat keintiman, serta
stamina atau kondisi fisik. Begitupun dengan Saefudin, yang disebut moderator
Dr Jajang Gunawijaya telah menjalankan praktek pengobatan seksual selama 20
tahun. Cucu legenda pengobatan tradisional di bidang seks Mak Erot itu hanya menyebut
semua jenis rempah pada dasarnya punya manfaat untuk menjaga dan meningkatkan
gairah.
Namun, agar khasiatnya lebih sempurna,
kata Saefudin, konsumsi rempah itu harus dibarengi dengan doa atau jampi
tertentu. Ditemui seusai acara, pria berperawakan mungil tapi perlente itu tak
mau menjelaskan lebih detail jenis rempah-rempah yang biasa digunakannya.
Begitupun dengan doa-doa yang harus dipanjatkan. “Itu hanya akan disam- paikan
kepada pasien yang datang ke tempat praktek saya,” ujarnya. Cerita tentang
khasiat rempah-rempah sebagai obat ataupun menu penambah gairah seksual sedikit
lebih detail justru disampaikan Jack Turner dalam bukunya, Sejarah Rempah:
Dari Erotisme sampai Imperialisme. Dalam buku terbitan Komunitas Bambu pada
2011 itu, ia merujuk sejumlah literatur klasik terbitan beberapa abad silam.
Konstantinus Afrikanus, seorang pendeta yang juga rahib pada 1020-1087 Masehi,
lewat karyanya paling masyhur berjudul De Coitu, antara lain
menganjurkan electuary (parutan) jahe, lada, akar lengkuas, kayu manis,
dan beragam herbal yang diminum setelah makan siang dan makan malam guna
mengatasi impotensi. Untuk impotensi yang tergolong ringan, ia meresepkan
kacang arab, jahe, kayu manis, madu, dan berbagai herbal lainnya. “Saya telah
mengujinya.... Reaksinya sangat cepat dan dengan efek yang tidak
berlebihan.”Sedangkan untuk mengobarkan cinta di pagi hari, Konstantinus merekomendasikan
cengkeh yang direndam dalam susu. Beberapa abad setelah Konstantinus, menurut
Turner, penulis Prancis, Nicolas Venette (1633-1698) dan Paul Lacroix
(1806-1884), menganjurkan formula kurang-lebih sama dengan yang disarankan
Konstantinus.
Lacroix secara khusus menganjurkan minuman
beralkohol, yang terdiri atas jahe, lada, arugula, lalat Spanyol, gula, dan
sigung, sebagai penangkal impotensi. Sementara itu, Al-Tifashi, dokter Kairo
pada abad ke-13, merekomendasikan kayu manis, cengkeh, jahe, dan kapulaga untuk
“kekuatan tambahan dalam bersetubuh... berguna bagi siapa pun yang ingin berhu-
bungan intim dua kali berturut-turut”. Bila tidak ada jahe, Ibnu al-Jazzar
(898-980) menyebut lada hitam atau putih untuk menggantikannya, walaupun dengan
risiko mengurangi kuantitas sperma.
Zoya Amirin, Saefudin, dan Jajang
Gunawijaya nyebut bahwa kerabat jahe, akar lengkuas, dapat
menghasilkan ereksi instan. Terkait pengobatan, penggunaan rempah
direkomendasikan para tabib di Eropa, khususnya ketika wabah pes (black
death) melanda Romawi Timur di bawah kekuasaan Kaisar Jus- tinus pada tahun
1348-1350. Kala itu 30 persen populasi Eropa binasa, bahkan di beberapa kota
Eropa mencapai 50 persen. “Para tabib menyerukan penggunaan aneka rempah sebagai
ramuan dan obat paling mujarab untuk mengatasinya,” tulis Turner.
Jauh sebelum itu, di era Mesir Kuno, rem-
pah-rempah, khususnya lada, digunakan untuk mengawetkan jasad Firaun Ramses II.
Ketika ia meninggal pada 12 Juli 1224 SM, para abdi-
Cengkeh nya menjejali
lubang hidung Firaun dengan biji lada. Kemungkinan besar, penggunaan lada itu
terkait dengan upaya pengawetan mayat, yang sudah menjadi tradisi bagi para
firaun di Mesir. Bahkan tradisi ini juga mempengaruhi budaya Romawi Timur.
Penggunaan rempah-rempah untuk kepentingan mumifikasi dan hal-hal yang bersifat
spiritual juga dijumpai dalam masyarakat Yunani kuno. Sementara itu, pada abad
VIII, Santo Benedictus Crispus, uskup Milan, menulis beberapa teks medis yang memunculkan
rempah-rempah. Untuk orang yang sakit encok, misalnya, ia menyarankan minum
campuran cengkeh, lada, dan kayu manis. Sedangkan untuk mengatasi jantung
lemah, ia menganjurkan konsumsi lada. Sariawan juga dapat disembuhkan dengan
lada.
0 komentar:
Post a Comment